Apa ya judulnya?

“Jika kita menghijrahkan cinta: dari kata benda menjadi kata kerja maka tersusunlah sebuah kalimat peradaban dalam paragraf sejarah.
Jika kita menghijrahkan cinta: dari jatuh cinta menuju bangun cinta maka cinta menjadi sebuah istana, tinggi menggapai surga.”
(Salim A. Fillah – Jalan Cinta Para Pejuang)


“Kamu pasti bisa, Ca. Kamu pasti kuat. Kamu ga lemah. Kamu ga akan nangis. Kamu bisa bertahan.”
Berusaha mati-matian aku menguatkan diriku. Aku yakin aku bisa. Banyak hal yang jauh lebih menyakitkan dari ini, yang pernah kulewati. Banyak. Sangat banyak dan jauh lebih menyakitkan.
Bagiku tak masuk akal menangis hanya karena Fahmi, seseorang yang belum lama aku kenal. Aku Caca dan aku tak lemah. Begitu kata-kata yang aku rangkai dalam otakku semenjak kejadian tadi pagi. Tapi aku perempuan, aku punya hati. Tak bolehkah aku meneteskan air mata saat aku sedih? Tentu saja boleh. Dan tak terasa, pipiku basah, mataku pedih dan butir-butir air mata keluar begitu saja.
Beberapa hari terakhir, aku memang dibuat pusing dengan kata-kata orang. Bahkan mama, orang yang aku harapkan mengerti posisiku malah ikut-ikutan menasehatiku. Lalu aku mencoba mencari pembelaan menuju teman-temanku yang lain, tapi tak ada satu pun solusi yang mereka tawarkan bahkan semuanya semakin rumit.
Akhirnya aku memutuskan solusi yang cukup nekat karena aku pikir aku lah masalah itu dan aku pun solusinya. Tak peduli seberapa banyak orang yang kumintai pertimbangannya, selama aku tak menyelesaikannya, semuanya tak kan pernah selesei.
Pagi itu aku meminta Fahmi datang menemuiku. Ia datang dengan wajah ceria seperti biasanya. Tapi aku, aku memasang wajah kaku, menatapnya, berharap mendapatkan sebuah kejujuran yang selama ini aku cari.
“Kenapa, Ca? Kok gitu ngeliatinnya.”
Setelah melalui basa-basi, sampai lah aku pada satu pertanyaan. Aku cukup butuh jawaban dari satu pertanyaan itu. Ku pikir yang lainnya tak penting bagiku.
“Sebenernya kamu nganggep aku apa sih. Mi?”
“Maksudnya apa sih, Ca?”
“Denger ya, Mi. Aku cuma butuh satu jawaban itu. Dengan semua kebaikan yang pernah kamu lakukan, sebenernya maksud kamu apa?”
“Ca, kita temen. Kamu temen baik aku. Wajar kan kalo aku memperlakukan kamu lebih dari temen-temen aku yang lain. Lagi pula kamu tau, Ca, aku udah punya Nita. Meskipun aku sama Nia LDR tapi kami baik-baik aja, ga mungkin aku macem-macem. Tolong jangan salah paham, Ca.”
“Ga, Mi. Sekarang aku tau. Aku cukup tau posisi aku buat kamu. Aku sangat lega.”
“Tapi, Ca. Aku harap kita masih bisa temenan kaya dulu Ca. Tolong jangan berubah.”
“Tenang, Mi. Aku gpp. Kamu liat, aku ga nangis. Aku ga segampang itu terluka, Mi. Aku kuat. Dan perlu kamu tau, as long as Caca is Caca, aku tetep akan jadi Caca yang biasa. Aku janji, aku ga bakal berubah.”
Lalu saat Fahmi meninggalkanku sendiri di teras kecil depan rumahku itu, tiba-tiba aku menangis. Sekuat apapun aku menguatkan diriku, hasilnya sia-sia.
Ah, aku menangis. Rasanya sudah lama air mata ini tak menetes. Aku ingat terakhir kali aku menangis tersedu-sedu, saat itu aku melihat mama meneteskan air mata. Aku tak tau apa yang terjadi saat itu. Tapi yang aku tau, setelah itu ayahku tak pernah lagi pulang ke rumah. Aku tak berani bertanya pada mama soal ayah. Karena tiap kali aku bertanya hanya membuat mata mama berkaca-kaca. Baru belakangan aku tau dari kakakku, ayah pergi meninggalkan kami semua demi perempuan lain.
Aku sakiiit.

Ku pikir aku akan jadi perempuan paling kuat. Aku pikir, aku tak akan bisa menangis lagi. Ternyata aku salah. Meski tak sesakit peristiwa itu, tapi kejadian pagi tadi tetap membuatku terluka.
Mungkin kejadian pagi itu tak akan terjadi jika saja Ega tak melamarku. Ega adalah teman semasa kecilku. Dulu aku memang bercita-cita menjadi pengantinnya. Tapi sudah lama Ega pergi dan tak pernah memberi kabar. Ia dan keluarganya menetap di Kalimantan.
Tiba-tiba Ega datang, Ega yang kini wajahnya asing bagiku, Ega yang telah banyak berubah, ia datang ke rumah dan melamarku. Saat aku berusaha menjemput impian masa kecilku, aku sadar, mimpi itu hanya sebuah mimpi. Karena untukku, Fahmi lah yang nyata.
Akan tetapi, harusnya aku sadar Fahmi menganggapku tak lebih dari sekedar sahabat. Aku memang sedih, sakit dan terluka. Tapi aku yakin, aku akan bahagia. Karena Tuhan pernah mengambil satu kebahagiaanku saat aku masih kecil dengan membiarkan ayahku pergi. Aku yakin, Tuhan akan menggantikannya dengan memberikanku kebahagiaan yang lain saat aku dewasa. Dan tak akan kubiarkan satu orang pun mengambil kebahagiaan milikku. Aku Caca, aku tak lemah, dan aku berjanji aku tak akan menangis lagi dan aku akan belajar untuk bersyukur.

“Di lautan nikmat. Dua mahluk berpisah. Yang satu tenggelam dan yang lain menyelam. Kau tahu apa bedanya?”
(Salim A. Fillah – Agar Bidadari Cemburu Padamu)

Comments