Aksara Pertama Dunia Anindya


“Apa jadinya laki-laki tanpa perempuan?”
“Hhm.. apa ya? Pasti mereka akan kesepian.”
“Bukan, mereka bahkan tak akan bisa hidup.”
“Dua-duanya salah, jika laki-laki tanpa perempuan, mungkin mereka saat ini masih di surga.”
“Lalu, bagaimanakah perempuan tanpa laki-laki?”
“Entah lah.”

Hari itu aku mendapati sebuah pertanyaan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Aku adalah anak keempat dari empat bersaudara. Itu artinya, aku anak terakhir. Ketiga orang kakakku adalah seorang laki-laki. Lalu, ada seorang teman baik bertanya,
“Nin, kakakmu kan semuanya laki-laki, tapi kok kamu nggak keliatan punya sisi maskulin ya?”
Jangankan dia, aku saja selalu bingung jika ditanya. Mengapa aku selalu terlihat lemah, mudah sekali menangis, terlalu sensitif dan ‘sangat’ perempuan, seperti kata teman-teman. Bahkan aku selalu terobsesi menjadi perempuan yang struggle, mandiri, selalu ingin terlihat kuat dan tangguh, meski dibelakang aku selalu tak bisa menahan air mataku. Aku tetap saja menangis jika ada masalah, aku tetap saja tak bisa marah dan bersikap tegas. Aku tetap aku dengan segala karakter yang aku miliki.
***
Baru saja aku terbangun, sudah jam 2 siang. Aku belum sholat dzuhur. Aku segera pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudlu. Setelah itu, aku keluar kamar dan mendapati ibu sedang duduk membaca sebuah buku, ia sedang menangis. Tak pernah aku melihat ibu selemah ini hingga meneteskan air mata.
Aku memberanikan diri untuk mendekat dan bertanya,
“Ibu kenapa? Kok nangis.”
“Ibu nggak apa-apa, Nak. Ibu cuma sedih setiap kali baca buku atau ngeliat orang-orang pada naik haji. Ibu iri sekali. Kapan ya ibu bisa nyusul ke sana? Ibu juga nggak sempet pergi sama Bapak.”
Canggung aku memeluknya. Ingin sekali aku katakan, ibu nggak usah khawatir, Anin mau nabung supaya ibu bisa berangkat. Tapi aku terlalu gengsi untuk mengatakannya, bahkan hanya untuk sekedar mengatakan, aku sayang ibu dengan segala pengorbanan yang telah ibu lakukan.
***
Malam hari itu, hujan turun dengan sangat lebat. Aku ditemani Adi dan Salsa, adik iparku pergi menyusul Anindya. Aku tak tau kalau Beni, suamiku, yang juga ayah Anindya bakal membawa anakku pergi. Anindya masih 5 tahun, ia belum mengerti apa-apa. Ia bahkan tak tau apa yang terjadi pada kami. Tapi yang jelas, aku tak rela membiarkan Anindya ada bersama perempuan yang bukan ibunya.
Ya. Tepat seminggu yang lalu, aku yang curiga karena beberapa hari ia tak pulang ke rumah,mendapati Beni pergi ke sebuah rumah besar yang penuh dengan hiasan adenium serta beberapa sangkar burung yang tergantung di atasnya. Rumah yang belakangan aku tau, ditempati Beni dengan seorang wanita keturunan Tionghoa. Dari beberapa tetangga yang aku tanyakan, perempuan itu adalah seseorang yang dinikahi Beni 2 bulan lalu. Perempuan itu adalah seorang mualaf. Ia tinggal bersama bibinya di rumah tersebut karena ayah dan ibunya yang Tionghoa asli meninggal ketika ia masih kecil.
Perempuan mana yang tidak sakit ketika mengetahui istana yang dia bangun dengan susah payah selama 15 tahun harus hancur dalam waktu sekejap. Tanpa pikir panjang, aku langsung pergi menemui adikku di Bandung, meninggalkan Rifa, Arya, Danu dan Anindya. Aku sadar aku salah meninggalkan mereka, apalagi Anindya yang baru berusia 5 tahun. Tapi saat itu pikiranku sungguh kacau. Aku tak mungkin mengadu pada ibu yang sedang sakit. Satu-satunya yang aku miliki hanya adikku. Hanya padanya aku bisa menceritakan ini semua.
Mas Beni pun curiga atas kepergianku yang tiba-tiba ke Bandung. Ia segera menelpon Riska, adikku. Tapi ku larang Riska untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Kepergianku ke Bandung, justru menjadi alasan bagi Mas Beni untuk membawa Anindya ke rumah itu bersama istri barunya. Ia tau, itu satu-satunya cara untuk membujukku pulang ke rumah. Jadi lah malam itu, ditemani adik Beni, Adi dan istrinya, Salsa, aku pergi menyusul Anindya ke rumah perempuan itu. Di sana Beni mencoba menjelaskan semuanya tapi bahkan aku tak lagi peduli. Awalnya aku hanya ingin menjemput Anindya. Tapi wajah perempuan berkulit putih itu menyulut emosiku. Aku sempat menjambak rambutnya hingga Adi dan Salsa mencegahku. Kami pergi dari sana bersama Anindya. Kini, istana itu hanya tinggal bagunan rumah usang, tak ada artinya lagi untukku. Aku sudah dikhianati.

***
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)..”(An-Nuur:26)
Usiaku kini 18 tahun. Aku cukup sering berkumpul dan berdiskusi dengan seniorku di universitas. Mereka sering kali mengatakan laki-laki baik, hanya untuk perempuan yang baik. Dan dengan sinis aku bertanya, ibuku perempuan yang sangat baik, tapi kenapa ibu mendapatkan suami seperti ayah? Ibu yang merupakan anak pertama, telah banyak berkorban bagi keluarganya. Ia terpaksa bekerja dan hanya mengenyam pendidikan sampai sekolah menengah atas karena saat itu kakek sudah meninggal. Ia telah menjadi tulang punggung keluarga semenjak usia 15 tahun. Cita-cita ibu sederhana, asalkan bisa hidup bahagia bersama keluarga dan diridhoi suami serta anak-anaknya, itu sudah cukup membayar segala penderitaan yang selama ini ibu rasakan.
Lalu, dengan semua hal yang ibu alami, masih bisakah aku percaya bahwa perempuan baik selalu diberi pendamping hidup yang baik. Toh nyatanya, ibu pun tetap punya suami seperti ayah.
“Anin nggak boleh gitu, dia kan tetap ayah kamu.”
“Aku udah maafin ayahku kok, cuma kadang-kadang masih suka mempertanyakan aja, apakah arti dari ‘laki-laki baik untuk perempuan baik’ sesederhana itu? Kalau gitu, harusnya ibuku dapet suami yang jauh lebih baik dari ayah dong.”
Ibu adalah perempuan yang sangat hebat. Bahkan ketika ayah membangun istana lagi di luar sana, ibu tetap bertahan. Ibu tetap berusaha mempertahankan istana yang sudah dibangunnya demi keluarga ini. Ia tetap membuatkan teh hangat untuk ayah setiap kali ayah pulang. Ia tetap menunggu ayah untuk makan malam bersama meskipun kadang kala, ayah membatalkan kepulangannya ke rumah untuk menemui istri keduanya. Tapi ibu tak pernah marah. Ibu justru marah ketika aku berusaha menahan kepergian ayah.
“Udah lah, Nak. Ayah mau pergi. Cuma sebentar kok, nanti besok kan bisa ketemu lagi.”
Itu yang selalu ibu katakan. Sudah 13 tahun aku berbagi ayahku dengan perempuan lain. Kami bersepakat tak saling mengusik. Meski buatku, keberadaan perempuan itu tetap mengusik hidupku. Sering kali saat pembagian rapor, ayah tak bisa hadir mengambil raporku karena harus menemani perempuan itu. Di saat itu lah, ibu yang menggantikan peran ayah mengambil rapor di sekolah.
***
Saat usiaku 10 tahun. “Ibu sedang apa?”
“Ibu lagi jahit baju, Nak.”
***
Saat itu, usiaku 10 tahun. Kak Rifa 18 tahun. Kak Arya 15 tahun. Dan Kak Danu 12 tahun. Kebutuhan hidup yang makin mendesak membuat ibu kembali ke pekerjaannya. Menjahit. Ayah tak bisa mencegah. Toh ayah pun sadar, uang yang ia berikan memang tak cukup. Apalagi Kak Rifa harus kuliah, Kak Arya harus melanjutkan sekolah ke SMA, dan Kak Danu, harus melanjutkan sekolah ke SMP.
***
“Aduh, Nak. Jadi perempuan jangan berantakan. Jangan cuma pinter di sekolah, harus pinter juga di rumah. Beres-beres kamar, masak, nyuci, ngepel. Nanti gimana kalau udah punya keluarga?”
Kadang aku jengah dengan nasehat ibu. Selalu saja ibu berkata seperti itu seakan-akan aku harus jadi perempuan yang sempurna. Kali ini, aku memberanikan diri menanyakan hal yang selama 18 tahun aku pertanyakan.
“Bu, kenapa dulu ibu masih mau hidup sama ayah, dan melayani ayah? Padahal jelas-jelas ayah yang mengkhianati ibu. Bahkan saat ayah sakit, ibu masih mau mengurus ayah.”
Pertanyaan itu membuat ibu menitikan air mata. Aku tak tau, pertanyaan mungkin menyakiti ibu lebih dalam. Ibu refleks mendekap tubuhku.
“Ibu punya empat malaikat kecil yang selalu memberi ibu kekuatan. Mungkin kalau nggak ada kalian, sudah sejak lama ibu pergi ninggalin ayah. Tapi bagaimana pun juga, ibu harus bisa membuat kalian tetap merasakan memiliki keluarga yang utuh, menciptakan suasana nyaman di keluarga ini seakan semuanya baik-baik saja dan nggak ada yang berubah.”
Kami terpaku. Buatku ibu adalah pemenang. Seorang yang sangat luar biasa mampu menekan rasa sakit hati dan egonya.
“Nin, kamu harus jadi perempuan, dengan kelembutannya, tapi mampu hidup mandiri. Jangan bergantung pada orang lain. Karena ketika kamu bergantung pada orang lain, yang kamu dapatkan hanya kekecewaan. Bergantung lah hanya pada Allah.”
***
“Bu, tadi Tante Riska telpon, katanya tahun depan mau berangkat haji.”
“Oh iya? Alhamdulillah.”
“Tapi kok, ibu nangis?”
“Nggak apa-apa, Nak. Kapan ya giliran ibu naik haji? Tapi sekarang ayah juga udah nggak ada, padahal dulu sekali, ibu punya cita-cita naik haji bareng ayah.”
Ya Allah, bukan kah Kau dulu pernah mengambil sepenggal kebahagiaan dalam hidup ibu, sekarang izinkan aku mengembalikan sepenggal kebahagiaan itu. Biarkan ibu mendapatkan kebahagiaannya kali ini. Ibu selalu bilang, Allah akan menggantikan kesedihan-kesedihan dalam hidup kita dengan kebahagiaan yang lain suatu saat nanti.
***
Sekarang aku sadar, meski ketiga orang kakakku adalah laki-laki, tapi sikap dan penampilanku ‘sangat perempuan’. Itu karena ketiga kakakku melindungi aku selayaknya aku yang seorang perempuan. Dan ibu mendidikku dengan kelembutan seorang perempuan. Mereka mengajari bagaimana menjadi seorang perempuan seharusnya.
Lalu, bagaimanakah perempuan hidup tanpa laki-laki? Pilihannya hanya dua, mati atau menjadi lebih kuat. Ibu memilih yang kedua. Tanpa ayah, ibu justru menjadi lebih kuat. Dan ia telah menjadi aksara pertama dunia bagi anak-anaknya.

Comments