Proud to Be Muslimah

Bukan dari tulang ubun ia dicipta
Sebab bahaya membiarkannya dalam sanjung dan puja
Tak juga dari tulang kaki
Karena nista menjadikannya diinjak dan diperbudak

Tetapi dari rusuk kiri
Dekat ke hati untuk dicintai
Dekat ke tangan untuk dilindungi

(sebuah syair dari buku Agar Bidadari Cemburu Padamu-hal 7)

Sebagai seorang perempuan, saya sering kali merasa ruang lingkup hidup saya terbatasi. Ketika kakak laki-laki saya diperbolehkan untuk pulang di malam hari, orang tua saya melarang saya melsayakannya. Juga ketika kakak saya diizinkan mengikuti ekstrsayarikuler pencinta alam dan naik gunung, saya pun dilarang ikut. Satu lagi, ketika masih di Sekolah Menengah Pertama, saya bahkan merasa perempuan semakin dibatasi dengan kewajiban memakai jilbab. Kenapa harus perempuan yang menutup aurat bukan laki-laki saja yang harus menjaga sikap dan pandangannya? Begitulah yang ada di pikiran saya.

Oleh karena itu, saya sedikit pun tak pernah berpikir akan menjadi perempuan berjilbab suatu hari nanti karena bagi saya orang yang berjilbab adalah orang yang terbatas pergaulannya, menutup diri dari lingkungan dan tidak punya kebebasan. Ketika masuk ke sekolah menengah atas pun, sama sekali tak ada niat untuk menggunakannya. Semua seragam sekolah saya pendek, sering kali saya terkena razia sekolah ketika hari senin karena baju yang pendek itu (kalau dipikir-pikir cukup memalukan ya?).


Saya sangat ingat ketika pertama kali keinginan berjilbab muncul di kepala, sejujurnya keinginan awal itu tak benar-benar tumbuh dari hati, tapi ada sedikit pressure dari lingkungan. Itu yang membuat saya ragu menggunakannya. Keinginan itu muncul saat pertama kali mengikuti pelajaran agama di mushola sekolah ketika SMA. Guru agama saya menekankan habis-habisan bahwa jilbab bagi wanita adalah kewajiban, sama halnya dengan sholat. Maka perempuan tak harus menunggu dirinya harus siap untuk menggunakan jilbab tapi ketika ia sudah baligh, jilbab hukumnya wajib. Intinya siap tidak siap, SEORANG PEREMPUAN HARUS MENGGUNAKAN JILBAB.
Di tambah lagi ancaman mendapatkan nilai C dalam raport bagi yang tidak mengenakan jilbab.

Jadilah tepat beberapa hari setelahnya saya memaksa ibu untuk membeli seragam baru. Kemudian saya mulai belajar berhijab, meski masih setengah-setengah.
Lalu, tak cukup sampai di situ, beberapa bulan kemudian, saya melepas jilbab saya dan pergi bersama teman-teman karena lama-lama saya merasa bosan menggunakan jilbab. Saya selalu mengeluhkan model baju muslim yang mayoritas old fashion, membuat saya terlihat tua dan tidak modis. Tapi melihat ekspresi wajah ibu yang sedih melihat saya yang kembali membuka jilbab, besoknya saya memutuskan kembali berjilbab, demi membahagiakan ibu.
Saya pikir semua selesai ketika kita berjilbab. Ternyata tidak, saya sadar, perempuan yang berjilbab punya tanggung jawab yang besar untuk mejaga dirinya karena ia membawa identitas seorang muslimah. Apa yang orang katakan tentang Islam ketika sebagai muslimah, kita tidak bisa menjaga sikap..

Saya akui, meski berjilbab, saya masih sangat jauh dari sempurna. Saya masih belum bisa menjaga kata-kata saya. Saya masih belum bisa menjaga sikap dan hati. Jika diingat-ingat, ini selalu membuat saya senyum-senyum sendiri. Mulai dari trial error dengan ‘menyukai’ dan berinteraksi yang kalau sekarang dipikir-pikir sepertinya berlebihan, atau dengan bahasa saat ini disebut ‘alay abis’ dengan seorang ikhwan sampai dengan ucapan-ucapan yang tidak terjaga. Sampai-sampai, saya harus diingatkan oleh seorang teman agar menjaga kata-kata saya. Sejujurnya kadang saya masih merasa terbatasi, saya harus menjaga perilaku, tidak boleh tertawa lebar, jenjang karier organisasi saya terbatasi karena tak boleh jadi ketua dan sebagainya.

Kemudian, seorang teman baik memberi saya sebuah buku berjudul “Agar Bidadari Cemburu Padamu karangan Salim A. Fillah”, ternyata Islam sama sekali tak membatasi perempuan. Perempuan diperbolehkan untuk menjadi seorang pemimpin, asalkan tidak dalam konteks memimpin daulah. Jika hanya sekedar menjadi ketua OSIS, tentu tidak masalah. Layaknya ‘Aisyah yang memimpin pasukan didampingi Thalhah dan Az Zubair dalam Waq’atul Jamal

Selain itu, seorang muslimah pun tak mesti berubah menjadi orang lain ketika ia mengenakan jilbab. Betul ia mesti menjaga kata-katanya tapi ia tak mesti menjadi orang yang berbeda. Seperti yang dijelaskan dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu, jilbab bukanlah lakon sandiwara yang mengharuskan kita berperan sebagai orang lain dan Islam tidak pernah menghapus karakter-karakter khas dan pribadi pemeluknya. Maka jika kita akhwat yang atraktif, ceria dan suka bercerita, kita tak perlu berubah menjadi pendiam dan malu-malu. Kita msaih bisa menjadi pribadi kuat dan pemberani seperti Ummu Hani’ binti Abu Thalib, bermanja dan ceria seperti ‘Aisyah dan membentak serta tertawa terbahak seperti Hafshah bahkan lembut dan keibuan seperti Khadijah.

Dari sana saya belajar menjadi seorang muslimah yang baik tanpa meninggalkan karakter-karakter pribadi yang saya miliki. Tak perlu lagi merasa terbebani dengan jilbab yang kita kenakan, jilbab ini justru mengajari dan menjaga kita dalam setiap langkah yang kita ambil. Itu membuat kita sepatutnya bangga dan bersyukur sebagai seorang muslimah. I’m a muslimah and proud to be like that!

Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html

Comments