Kisah Layang-Layang (Part 1)


Lima orang anak kecil berlari-lari riang, bergantian menerbangkan layangan mereka. Ada yang sebal karena layangannya tak kunjung naik, malah terhempas menggesek tanah. Ada yang berteriak karena angin membawa layangannya tinggi, sangat tinggi, menggapai langit. Sementara yang lain ikut menyoraki. Bahkan sang anak yang awalnya memasang wajah sebal turut menyoraki juga. Sekarang layangan yang terbang dihempas angin menuju langit tak hanya satu, bukan juga dua, tapi tiga. Tiga layangan. Kedua anak yang tak memegang layangan, mereka menunggu giliran untuk bergantian dengan teman-temannya yang lain. Layangan itu sungguh indah, bentuknya sederhana memang, tapi layangan itu mereka buat sendiri, dengan meraut bambu yang mereka dapat dari pohon bambu di belakang rumah mereka. Mereka tak memakai kertas melainkan memakai plastik agar layangannya tak mudah robek. Tak lupa juga, mereka melukis layangan tersebut. Memberinya mata yang terbuka, hidung dan bibir yang tersenyum layaknya manusia yang sedang bahagia.
Angin memang bertiup sangat kencang dan matahari bersinar cukup terik seakan-akan mengizinkan anak-anak itu bermain riang. Di sebuah lapangan luas yang rumputnya tumbuh tidak teratur, di sebelah barat tak ada rumput yang tumbuh seperti habis dibersihkan, sementara di bagian timur, rumput dan alang-alang tumbuh begitu subur hingga seukuran tubuh anak-anak itu, mereka riang berlari-lari sambil memegang senar layangan. Mengombang-ambingkan layangan tersebut di angkasa. Mereka teramat sangat bersemangat, berlari ke sana kemari sampai-sampai salah satu senar layangan bergesekan dengan layangan yang lain. Salah satu layangan terputus. Terbang makin tinggi, makin jauh, tak terkontrol. Anak yang layangannya terputus berteriak-teriak, menggerutu kesal. Tapi ia tahu, itu salahnya, ia terlalu bersemangat sampai membuat senar layangannya bergesekan dengan senar layangan lain. Sayangnya yang putus justru senar layangan miliknya. Ia berusaha mengejar, tapi angin tak mau kalah, angin justru membawa layangan itu lebih cepat. Anak itu tak kuasa mengejarnya, napasnya mulai terengah-engah. Sang teman yang tak memegang senar ikut mengejar.
“Sudah lah, jangan sedih, kita masih punya dua lagi kan? Kita main bergantian saja.”ujar sang teman.
Sang anak tersenyum, ia menggandeng tangan temannya, berlari, menuju lapangan tadi, kembali tersenyum riang.
***

“Tolong, jangan bawa aku pergi, aku ingin bermain bersama mereka.” sementara itu sang layangan memohon pada angin yang membawanya. Ia tak ingin terbang terlalu jauh. Ia hanya ingin bermain dengan anak-anak itu.
“Hahaha… kau tau, kau harusnya berterima kasih karena kau akan kubawa dan kuperlihatkan tentang realitas dunia ini. Bukan sekedar ada anak-anak, bukan sekedar sepetak lapangan hijau dan rumah-rumah yang ditinggali manusia. Masih banyak sisi dunia lain yang harus kau jelajahi. Coba sekarang kau lihat kebawah.”
Angin membawa layangan terbang makin tinggi, makin jauh hingga sang layangan bisa melihat seluruh isi ibukota. Ia tersenyum, tertegun dengan keindahan kota dari atas. Baru pertama kali ia melihat pemandangan seperti ini, ramai. Ia terbang, bahkan lebih tinggi dari gedung-gedung yang ada. Tapi kian lama, angin membawanya makin rendah dan rendah. Hingga ia tersangkut pada pohon yang tinggi dan besar di dekat sebuah terminal. Asap bus dan kendaraan lain mengepul membuatnya tarbatuk-batuk.
Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnn. Bising suara klakson besahut-sahutan. Semua supir itu berteriak-teriak tak sabar. Memasang wajah murka dan marah. Memaki-maki sambil menunjuk kendaraan di depannya. Di sisi lain terminal, orang berkerumum tampak memasang wajah penuh dendam. Tak sedikit pun belas kasih diwajahnya, mereka memukul beramai-ramai, seorang anak yang berusia sekitar 16 tahun.
“Kenapa dia?”
“Ah, dia hanya dihajar massa karena ketahuan mencopet. Baru satu, mungkin ada puluhan anak seperti dia di hari ini yang habis dihajar massa.”
“Pantas.”
“Aha, kau bilang pantas. Pernahkah kau tau alasan ia melakukannya? Adiknya sedang sakit sekarang dan ia tak punya uang bahkan untuk sekedar makan.”
“Ah, sok tau. Tau dari mana kau?”
“Aku adalah angin, aku bebas masuk menelusuk lewat celah dinding dan jendela rumahnya.”
Lalu angin membawanya kembali terbang, entah ke mana. Ia sesungguhnya tak suka dibawa seenaknya tanpa persetujuan oleh angin. Tapi ia tau, percuma ia melawan, toh ia pun tak punya daya.
“Kau tau rasanya, ketika kau ingin sekali terlepas dari ketergantungan, tapi kau tak bisa. Bukan karena kau tak memiliki keinginan kuat, tapi sungguh tak bisa melawan. Kau harus patuh. Patuh pada hukum alam atau hal lain yang sifatnya out of control.” Umpatnya dalam hati.
“Ke mana lagi kau akan membawaku?” tanyanya.
“Sudah kubilang, aku akan mengajakmu melihat realitas dunia yang lain. Kau tak perlu takut. Hahaha…” ia tertawa sangat puas.

*Tuhan, bebaskan aku dari sang angin ini. Mimpiku sungguh sederhana. Terikat bersama tali, kemudian terbang tinggi. Bermain bersama tawa ringan anak-anak.

--to be continued

Comments

Anonymous said…
citra sekarang jauh berbeda dari citra yang gue kenal dulu. semakin jauh berkembang. cuma mukanya yang gak berubah, tetep bulet tapi cute, menyejukkan hati setiap orang yang memandang.
terbang yang tinggi citra. jangan takut untuk mencoba.
well...g'd luck to you and I'll be missing you so. you are still the little cute sun in my world
Citra Amaliyah said…
Makasih, meski pun bacanya biki ketawa. hehe...
So, kamu siapa?
Anonymous said…
wah...dibales juga ternyata. gak nyangka, hehe...
gue bukan siapa siapa kok. anggap aja pernah kenal.
ditunggu sambungan tulisannya. tapi jangan pake bahasa korea ya. hehe...
Citra Amaliyah said…
Ckckck.... Who ever you are... I think you are a great stalker...
Anonymous said…
I don't have to be a great stalker to know all about you, Citra. too easy.

have a nice day. I hope I meet you before you leave,even though just one second.