Hujan


Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
….swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.
Meskipun sudah kau matikan lampu.
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
…. menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan

-Sapardi Djoko Damono


Pagi itu, Depok diguyur rintik gerimis. Awan sepertinya ragu menumpahkan airnya. Kadang hampir deras, lalu terhenti. Aku yang tinggal disebuah asrama beasiswa, kami memang wajib bangun jam setengah 4 pagi untuk Qiyamul Lail dan sholat shubuh berjamaah. Tidak ada yang spesial memang. Hanya kebersamaan di pagi hari selalu diselingi semangat dari teman-teman yang tak pernah padam. Aku suka gerimis. Sangat suka. Sepertinya alam hanya ingin menumpahkan emosinya agar manusia tak sombong. Karena sejatinya manusia tak bisa mengatur alam.

Kami mengisi pagi itu dengan rencana lari pagi. Maka berlari lah kami pagi itu, melewati pohon-pohon, melintas jalan sepada. Seperti sedang berusaha meraih cita-cita yang kami tuliskan, tak hanya pada carik-carik kertas tapi juga di hati-hati kami. Setidaknya itu lah yang selalu kami tanamkan.

Bukan. Bukan itu poinnya. Aku hanya ingin bercerita bagaimana aku mengawali pagiku saat itu. Tapi ada hal penting yang justru baru kusadari di hari itu. Aku menangkap banyak hal disekelilingku. Hijaunya pohon, lalu lalang kendaraan, anak yang berjualan Koran, hingga tiba pada waktu di mana aku harus menaiki kereta Cirebon Ekspres yang penuh sesak saat itu. Mungkin saja karena besok memang libur.
Hei. Kenapa ada seorang ibu-ibu yang di usir dari dalam kereta. Bukannya sok tau, tapi sungguh, tergambar harapan besar di matanya untuk bisa bertemu dengan keluarga di kampung halamannya. Ia terpaksa diturunkan karena tak punya tiket. Entah apakah itu adil? Sedang di pojok gerbong, kulihat seorang ayah sangat mesra menggendong anaknya. Memberinya sepotong es mambo. Saat esnya habis, sang anak akan merengek dan meminta lagi. Lalu sang ayah dengan sangat mudah memberikannya. Aku kira, anak itu terlalu banyak minum es. Tapi siapa aku, bahkan aku harusnya tak usah banyak berkomentar.

Di sisi yang lain, aku melihat seorang perempuan berdiri dengan sepatu hak tingginya, layaknya baru pulang dari pekerjaannya, sementara seorang lelaki muda yang gagah duduk tertidur atau mungkin pura-pura tertidur di sampingnya. Hei Mas, bisa kah kau berikan tempat dudukmu pada perempuan di sampingmu itu? Ini bukan masalah emansipasi atau apa pun. Tapi dalam pelajaran pun kita diajari bahwa kekuatan otot perempuan hanya 60% kekuatan otot lelaki bukan?

Aku hanya tersadar. Kau tau, ternyata tak ada kamera yang bisa menangkap gambar sejeli dan sesempurna mata kita. Jadi, ketika kita diberi karunia untuk melihat, maka lihat lah ke sekitar kita. Kau akan menemukan jutaan hikmah yang bertebarab di sana. Tak terkecuali di sini, di gerbong kecil kereta Cirebon Ekspres yang penuh sesak.
Gerimis masih saja mengguyur bumi ini. Mungkin bergantian, tadi pagi di kota A, lalu ke kota B. Meski ia sudah berhenti pun, ia tak kan bisa bersembunyi. Karena kau masih bisa melihat jejak-jejaknya lewat tanah basah yang kau pijak dan air yang menetes dari dedaunan.

24 Januari 2011
@Kereta Cirebon Ekspres

Comments