Dendam Positif


-hakikat cinta adalah melepaskan. Semakin sejati ia, makin tulus kau melepaskannya. Kata Wak Yati dalam kisah Eliana.


Dari balik jendela apartemen, kulihat salju turun perlahan. Tak tumpah memang, hanya sedikit saja yang menghadirkan diri di permukaan kota ini. Bukan hal yang aneh memang karena sudah saatnya spring tiba, di mana kau bisa melihat pohon-pohon di pinggir jalan tak ragu-ragu mengeluarkan dedaunannya dan bunga-bunga dengan ceria menampakkan warnanya. Dari balik jendela apartemen yang dilengkapi penghangat ruangan ini, aku masih bisa merasakan dinginnya udara di luar. Menurut perkiraan cuaca yang baru saja kubaca dari laptop kecil milikku, suhu di luar kini minus 3 derajat, sungguh dingin, meski kulihat beberapa orang sudah mengurangi ketebalan pakaiannya.

Teringat obrolan satu tahun silam. Di sudut kantin itu, kami terduduk. Lima menit sudah berlalu, tak satu pun kata yang bisa keluar dari mulutku. Lidah ini sungguh kelu. Sungguh, ratusan kalimat berseliweran di dalam lobus otak ini, tapi entah kenapa, satu pun tak ada yang bisa aku tumpahkan. Hingga ku paksakan lidahku tuk bergerak. Meski kata pertama yang kuucapkan terdengar aneh.

“Hhmmm, just go your way, and I’ll go mine.” entah mengapa, kata-kata lagu “separated” yang pertama kali keluar.

Buatku, hakikat cinta adalah saling melepaskan. Semakin sejati ia, maka kau akan semakin tulus melepaskannya. Maka itu lah yang coba kulakukan. Jika kau mengira bahwa masalah status sosial hanya ada di dalam sinetron, kau salah besar. Dalam dunia nyata pun masih ada yang mempermasalahkan perbedaan status sosial, lalu apa yang bisa kami lakukan bahkan ketika ibu, seseorang yang telah bersusah payang melahirkan dan mendidik kita tak setuju dengan hal apa yang ingin kita jalani. Sebagai perempuan, sedikit pun aku tak punya hak untuk keberatan. Seorang ibu tentu ingin yang terbaik untuk anaknya, wajar saja jika ia tak suka anaknya dekat dengan perempuan yang sejak kecil tinggal di lingkungan kumuh dan hidup dari hasil menjahit keliling.

Siapa yang pernah meminta untuk lahir dalam keluarga yang miskin. Seandainya boleh memilih, tentunya semua orang ingin lahir dalam keluarga yang berkecukupan. Ibuku hanya seorang penjahit keliling, tak apa, buatku itu jauh lebih mulia ketimbang hanya duduk nyaman dibalik gedung ber-AC. Berkoar-koar tentang kesejahteraan rakyat tapi nyatanya hanya menyengsarakan rakyat. Sedangkan ayah, ayah sukses meninggalkan kami dalam kesendirian karena kuman TB yang menggerogotinya. Lingkungan rumahku yang tak bersih sempurna membuatnya makin menderita, hingga menurutku, Tuhan memberikan keputusan terbaiknya. Ayah wafat saat usiaku 5 tahun.

Aku bisa sekolah berkat belas kasih sebuah keluarga yang juga mempertemukanku dengan seseorang bernama Pramudyar. Dia adalah kakak angkatku yang juga belakangan ini menjadi orang yang sangat spesial buatku. Awalnya kami memang tumbuh layaknya kakak-adik, tetapi kenyataan tetap tak bisa dipungkiri, kami tak punya hubungan darah. Hingga kami sadar, bukan hubungan kakak-adik ini lah yang ingin kami bangun. Akan tetapi, ibu (sosok yang sudah ku anggap seperti ibuku sendiri) menjadi orang yang pertama kali menentang niat kami. Entah kenapa, sosok bijaknya di mataku tiba-tiba saja luntur. Meski aku juga tak bisa berbuat apa-apa.

Dia, sosok Kak Pram nyaris sempurna di mataku. Cerdas, berpendidikan, visioner dan religius. Nyaris tak ada celah. Bandingkan dengan aku yang hanya mahasiswa biasa dengan nilai rata-rata dan tanpa prestasi gemilang. Tapi bukan kah Tuhan tak memandang manusia dari apa yang tampak secara fisik semata? Sayangnya sisi pesimisku mengambil peran lebih banyak. Aku sungguh tak layak bagi orang sebaik dan sepintar Kak Pram.

Jam menunjukkan pukul 11 siang. Lamunanku pun buyar, teringat jam 1 nanti aku punya janji dengan seorang profesor untuk membahas proyek penelitian kami. Benar sekali kata orang, hidup merupakan rangkaian sebab akibat. Aku sungguh dendam atas apa yang terjadi padaku 1 tahun silam itu. Awalnya aku selalu merasa tak mampu melampaui prestasi-prestasi yang telah Kak Pram raih, meski pun aku tau, sedikit pun ia tak pernah menganggapku sebagai saingannya. Tapi aku tak mau terlihat kalah hanya karena harus melepaskannya. Aku yang harus jadi pemenang. Pilihanku saat itu cuma dua, tinggal sebagai pecundang atau pergi sebagai pemenang. Jika aku tinggal, aku yakin kenangan tentangnya mampu menguasai sepenuhnya diriku. Entah lah, apakah itu yang dinamakan dendam positif. Yang jelas aku tak ingin memilih yang pertama. Jadi aku memilih yang kedua.

Sebelum kelulusanku, aku bolak-balik mendaftarkan diri untuk mendapatkan beasiswa. Kadang aku sampai tak tidur demi melengkapi seluruh persyaratan beasiswa yang ingin aku ajukan. Hingga hanya butuh waktu satu tahun, akhirnya aku berangkat menuju Kota Baltimore demi meraih gelar S2-ku di Johns Hopkins University. Lalu kupandangi lagi laptop kecilku, di e-mailku tertulis sebuah nama,

From: Kak Pram (pramudya85@yahoo.com)

To: annasya@gmail.com

Tak ada pesan apa-apa di sana, hanya sebuah attachment berbentuk file JPG. Aku sudah tau isinya. Undangan pernikahannya bulan Mei nanti. Sayangnya aku tak kan bisa hadir, bukan karena tak siap, tapi aku sudah memilih menenggelamkan hidupku dalam kehidupan di kampus baruku.

Cinta tak memberi apapun, kecuali keseluruhan dirinya, utuh penuh, dia pun tidak mengambil apa-apa, kecuali dari dirinya sendiri. Cinta tidak memiliki ataupun dimiliki. Karena cinta telah cukup untuk cinta. -Kahlil Gibran

*Hasil dari melihat sekitar kampus :p

Jeonju 13.01 pm.

Comments

Anonymous said…
lucu...