Jilbab, Kewajiban ataukah Pilihan?


12 days in Korea

Tulisan ini sungguh terinspirasi dari pertanyaan seorang teman dari Mongolia. Setelah kelas Korean Listening, aku dan teman-teman sekelas pergi untuk makan siang bersama. Yah, kelas itu terdiri dari 3 orang Perancis, dan 8 orang Mongolia dan aku, satu-satunya orang Indonesia (sungguh komposisi yang tidak adil).
Diperjalanan menuju kafetaria dormitory, aku dan satu orang teman dari Mongolia (I don't know how to write her name because it really difficult name), terlibat sebuah obrolan penting, mulai dari English Club, Korean Dance Club sampai pada Taekwondo Club. Lalu mulai lah kami menceritakan negara masing-masing, tentang orang Mongolia yang suka sekali makan daging (for your information, daging adalah international food di sana) sampai akhirnya tiba giliranku bercerita tentang Indonesia, bagaimana "spicy"-nya makanan Indonesia, cerita tentang buah durian dan sebagainya. Hingga akhirnya dia bertanya:
"What is the religion in Indonesia?" lalu aku jawab sesuai dengan apa yang diajarkan dalam mata pelajaran PKn, "There are 5 religions in Indonesia, but most of us are Moslem"
"Ooohh, so you are also a Moslem, right? Because you wear this?" sambil menunjuk jilbabku.
"Ah ya, veil. Ya, I'm a Moslem."
Baru saja tadi malam aku membahas ini dengan beberapa teman yang berjilbab di Korea lewat skype, bagaimana menjawab pertanyaan mengapa harus memakai jilbab. Jadi setidaknya aku sudah siap jika diberi pertanyaan yang sama.
"Sesungguhnya banyak hal dalam Islam yang bisa dijelaskan secara ilmiah, tapi tentu orang-orang itu akan membalas dengan pertanyaan yang lebih ilmiah lagi dan perdebatan tentang hal tersebut tak akan pernah selesai. Jadi jika ada yang bertanya kenapa kamu berjilbab, maka jawab saja, karena saya seorang Muslim, dan saya percaya dengan Tuhan, agama dan kitab saya." begitu kata seorang teman. Dan aku bersiap-siap memberikan jawaban tersebut. Tapi di luar ekspektasi, dia justru tidak menanyakan itu. Dia malah bertanya, "So, your Indonesian friends are not Muslim?"
"No, they also Moslem."
"But why they don't use veil?"
Hhmm. Aku terdiam. Lalu hanya bisa menjawab, "I don't know, I'm wearing this because I believe in my God and religion."
Lalu dia ber -ooohh, "So, is this your choice to wear veil?"
And I just can smile. Entahlah, bagaimana menjelaska bahwasannya jilbab bukan lah sebuah pilihan, bukankah bagi muslim (akhwat) jilbab merupakan tuntutan syari'ah? Seperti yang dijelaskan dalam surat An-Nur 31:
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…"
Jilbab selayaknya bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah kewajiban. Seperti halnya sholat, siap atau tidak siap, seluruh umat Islam yang sudah baligh tentu punya kewajiban untuk melaksanakannya. Apalagi di negara di mana Islam menjadi minoritas, jilbab akan semakin menunjukan identitas sebagai seorang Muslim. Ah ya, karena jilbab yang aku kenakan pula, pelayan di kafetaria tak pernah memberikan daging babi ketika aku ingin makan. Karena jilbab ini pula aku bisa bertemu dan bertegur sapa dengan Muslim dari negera lain. Jadi ayo jilbabi diri kita! Tunjukkan identitas kita sebagai seorang muslim. I'm a Moslem and I'm proud to be a Moslem!

Comments