Lesson Learn from 10 days in Korea

We don’t receive wisdom, we must discover it for ourselves after a journey that no one can take for us or spare us -Proust

Tepat sepuluh hari tinggal di negeri orang. Tepat sepuluh hari juga masa adaptasi yang tak kunjung usai. Sungguh bersyukur bisa menginjakkan kaki di belahan bumi yang lain, bisa melihat terbit dan terbenamnya matahari dari sisi lain dunia ini. Bahkan bisa merasakan dinginnya suhu bumi dan turunnya salju yang dulu hanya bisa dibayangkan dan disaksikan lewat adegan-adegan dalam film drama Korea. Kau tak perlu lagi menyalakan tv atau bersusah payah membeli dvd Korea karena semuanya ada di depan mata.

Terlepas dari itu semua, sungguh sulit berada di negeri yang ‘berbeda’ ini. Kadang kala kau harus tahan menjadi objek yang dipandang oleh semua orang karena ‘berbeda’ atau sulitnya mencari makanan halal sampai-sampai kau harus makan hanya dengan nasi dan abon. Dan di tengah-tengah kondisi itu, banyak hal yang harusnya disadari dan justru disyukuri.

Seringkali, mereka justru memberi tahu makanan apa yang boleh atau tidak boleh aku makan. Beberapa orang bahkan iseng mendekati dan mengajak berkenalan, lalu bertanya sambil menunjuk-nunjuk jilbabku. Ah ya, dari sana aku paham, mereka mungkin hanya ingin tahu kenapa aku menggunakan pakaian seperti ini.

Hhm…tiba-tiba aku teringat dengan banyak peristiwa yang terjadi belum lama ini di Indonesia. Ya, kekerasan atas nama agama. Sedih sekali rasanya, ada banyak halangan yang harus dilalui untuk ber-Islam dengan baik di negeri orang lain. Tapi di negeri sendiri yang mayoritas muslim, kenapa sering sekali agama dijadikan kedok untuk melakukan kekerasan? Harusnya kita belajar dari sosok teladan Umar bin Khattab. Ketika beliau berhasil menaklukan Yerussalem. Beliau tidak memaksa penduduk di sana untuk memeluk Islam. Bahkan beliau justru berdialog dengan pemuka agama di sana.

Apalagi yang terjadi di sini, kita adalah saudara satu bangsa. Jika dengan perbedaan budaya dan bahasa saja orang bisa belajar untuk saling menghargai, memahami dan menerima. Lalu mengapa dengan saudara sebangsa kita tak mampu saling memahami?

-yang sedang belajar ber-Islam dengan baik


Comments