Mari Mengambil Hikmah

Lucu tapi lebih sering miris

Tulisan ini saya buat bukan untuk membanding-bandingkan negara mana yang lebih baik atau bentuk keluhan terhadap Indonesia. Tapi semoga dengan tulisan ini, kita bisa belajar untuk lebih mencintai Indonesia dan bisa memperbaiki negeri kita tercinta. Seperti baris kata dalam Idealisme Kami yang selalu kita ucapkan…

‘Yang kami harap adalah terbentuknya Indonesia yang lebih baik dan bermartabat serta kebaikan dari Allah, pencipta alam semesta.’


Korea dan Budaya Sopan

Ceritanya saat dikelas, tiba-tiba dosen saya marah-marah sambil bercanda. Dia bilang kalau ketemu dosen itu harus menyapa Annyong Haseyo sambil membungkukkan badan (ini gara-gara ulah teman dari Filipina yang bertemu sang dosen dan menyapa dengan kata ‘Hai’ sambil melambaikan tangan). Bukan hanya itu, di sini senioritas sangat terlihat, jika ada senior datang, yang junior sampai bangun dari duduknya dan membungkukkan badan. Bahkan yang paling menyebalkan (menurut saya), banyak sekali kata-kata yang khusus digunakan untuk orang yang lebih tua atau lebih kita hormati. Itu membuat saya harus menghafal lebih banyak kosakata, kalau tidak, saya bisa di usir profesor-profesor di sini.


Bertemu Profesor

Hari itu saya bertemu teman yang sedang S2 political science, dia berasal dari Myanmar. Dia bilang ada temannya yang mau berkenalan dan bisa berbahasa Indonesia. Jadi hari itu saya pergi ke fakultas ilmu politik. Sampai di sana, saya malah di ajak bertemu profesornya, katanya beliau juga bisa berbahasa Indonesia. ‘Wah, saya bisa belajar mempraktekkan bahasa Korea.’ Jadi saat saya bertemu dengan profesor itu saya mengucapkan ‘Annyong Haseyo’ sambil membungkuk. Tapi saya sangat kaget, beliau justru berkata ‘Selamat sore, ayo silahkan masuk’. Ujung-ujungnya kami bicara dalam bahasa Indonesia. Subhanallah, kita harus berbangga karena ternyata banyak orang tertarik dengan Indonesia. Di ruangannya saya melihat buku-buku berbahasa Indonesia dan banyak buku tentang politik Indonesia. Bahkan ada gambar aktivis HAM Munir di sana. Bahkan beberapa tahun lalu, beliau meneliti tentang pergerakan buruh maspion di Jawa Timur.

Lalu beliau bercerita kalau pernah di undang oleh SBY selama 11 hari di Indonesia.

“Wah, Indonesia sudah jadi negara kaya rupanya, kemarin saya 11 hari di Indonesia dan semua biaya akomodasi ditanggung oleh pemerintah Indonesia.” Entah ini pujian atau sindiran.


Mereka saja peduli, kenapa kita tidak?

Tau kah? Ternyata sang profesor ini sangat peduli terhadap Indonesia. Beliau membuat kelas belajar bahasa Indonesia secara informal, yang mau ikut boleh, tidak juga tidak apa-apa. Dan anak-anak ini nantinya akan dikirim ke Indonesia sebagai volunteer di daerah-daerah terpencil di Pulau Jawa, seperti Sukabumi. Mereka akan mengajar bahasa Korea di SMA atau SMK setempat. Mereka semangat sekali belajar bahasa Indonesia dan mereka ingin sekali datang ke Indonesia. Subhanallah, mereka saja peduli, kenapa kita tidak?


Kelas Bahasa Indonesia (Suku apa itu?)

Semenjak saat itu, kami di minta untuk mengajar kelas bahasa Indonesia di sana. Kelasnya di adakan setiap Kamis sore. Akhirnya saya dan seorang teman dari Indonesia semangat hadir dalam kelas itu. Ternyata hari itu kelas sudah di mulai dan Prof. Jeon (profesor yang ahli bahasa Indonesia itu) sedang mengajar. Dan betapa kagetnya kami, mereka sedang membahas sebuah artikel berjudul Orang Pohon. Artikel itu bercerita tentang suku Kombai dan Korowai di Papua. Mereka hidup di atas-atas pohon di pedalaman Papua. Tiba-tiba Prof. Jeon bertanya, “Kenapa mereka disebut suku asing?”

Apaaaa? Suku kombai dan korowai aja saya baru tau. Yang saya tau di Papua hanya suku Asmat. Eh, ditanya macam-macam. Mikir. Mikir. Akhirnya menjawab dengan ngasal berharap itu benar, “Karena mereka tidak tersentuh oleh dunia asing.”ternyata beliau bukan ngetes, melainkan benar-benar bertanya. Semoga jawaban itu tidak menyesatkan. Sebagai orang Indonesia, seharusnya kita lebih tau tentang budaya kita sendiri. Ayo belajar tentang Indonesia!!!


Peringatan Buat Laki-Laki Indonesia

Sore itu, saya kembali diajak makan malam bersama oleh Agustina, teman dari Korea yang pernah tinggal di Indonesia menjadi volunteer, 1 orang teman dari Indonesia dan 1 orang dari Myanmar. Lalu saya iseng bertanya, “Bagaimana Indonesia?”

“Saya suka sekali Indonesia, apalagi rokok Sampoerna.” (Lhooo, ko yang diingat dari Indonesia malah rokoknya.)

“Kalau laki-laki Indonesia gimana?” pertanyaan iseng berikutnya.

“Saya tidak suka, kemarin dulu ada laki-laki Indonesia, namanya Harun. Dia bilang dia suka sama saya dan mau jadi pacar saya. Tapi ternyata dia sudah punya istri.”

Wah, laki-laki Indonesia bikin malu aja nih. Tapi ada yang lebih lucu lagi, Agustina melanjutkan jawabannya.

“Yang saya tidak mengerti, agamanya bukan Islam. Kalau di Islam kan tidak apa-apa punya istri empat.”

(-.-“)

Comments

The Owl said…
lucu yg kalimat terakhir,ncit. :)) segitukah islam dimata mreka?
Citra Amaliyah said…
Yah mereka kan hanya tau secara dangkal, tugas kita yang meluruskannya. hehehe :D