Sepasang Kaos Kaki Bolong


“Bu, besok Zahra ujian praktek sholat di sekolah.”

“Lho anak ibu kan udah jago. Pasti bisa.”

“Bukan itu, Bu. Belikan Zahra kaos kaki baru, kaos kaki Zahra bolong, Bu. Zahra malu.”

“Lho kenapa?”

“Kan nanti Zahra harus lepas sepatu, Bu. Malu kalo temen-temen Zahra liat.”

“Berapa harganya, Nak?”

“Murah kok bu, cuma 2500 rupiah saja. Nanti Zahra beli sendiri deh sepulang sekolah. Ya, Bu?”

“Sekarang ibu belum pegang uang, Nak. Kamu doaikan saja, dagangan ibu laris. Jadi nanti sepulang sekolah, kamu bisa beli kaos kaki baru.”

“Pasti, Bu. Asyik. Zahra berangkat dulu ya, Bu. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam.”

***

Gadis kecil berumur 11 tahun itu sungguh periang. Namanya Zahra. Ia tinggal di sebuah perkampungan di Kota Depok, di balik megahnya bangunan sebuah universitas ternama. Kumuh? Mungkin tidak. Kampungnya tak bisa dikatakan kumuh, meski memang kampung itu memenuhi beberapa syarat perkampungan kumuh. Rumah yang sangat padat, gang-gang yang sangat sempit serta tingkat pengangguran yang tinggi. Tapi perkampungan tempat ia tinggal cukup bersih, tak ada sampah berserakan di sana. Mayoritas penduduknya membuka warung untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sama halnya dengan Sulastri, ibu Zahra. Ia berjualan sayur keliling kampung untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ayah Zahra sendiri sudah tak ada semenjak setahun lalu. Dulu ayahnya bekerja sebagai satpan di universitas dekat rumahnya.


“Pak, nanti Zahra mau sekolah di sini ya.”

“Iya, Nak. Nanti kalau Zahra sudah besar. Zahra boleh sekolah di sini.”


Sejak kecil, sang ayah sering mengajaknya ikut ke tempat dia bekerja yang jaraknya hanya 500 meter dari rumahnya. Tapi tepat setahun lalu, ayahnya meninggal akibat kecelakaan yang terjadi di area kampus itu. Ketika sang ayah sedang menyebrang, sebuah mobil dalam keadaan kencang melintas begitu saja. Menghempaskan tubuh ayah Zahra. Darah mengalir dari hidung dan kepala sang ayah. Zahra sangat menyayangi ayahnya, tapi Tuhan ternyata lebih menyayangi sang ayah. Tak selang berapa lama, nafas sang ayah terhenti. Dan sekarang ia hanya tinggal bersama ibu dan adiknya yang masih berumur 5 tahun. Universitas tempat ayahnya bekerja memang memberi kompensasi, tapi bukan kah tak sebanyak apapun kompensasi yang diberikan tak mampu menukar nyawa sang ayah? Tapi Zahra yang periang tak berlarut-larut dalam kesedihan, dia bahkan terlihat jauh lebih tabah dari sang ibu. Seminggu setelah kejadian itu, ia sudah bisa kembali ke sekolah menjalani aktivitasnya seperti biasa.


Sama seperti hari-hari sebelumnya, dengan seragam putih merah agak kebesaran karena seragam itu memang bekas tetangganya yang baru saja lulus sekolah dasar, sepatu hitam satu-satunya yang kini terlihat lusuh dan abu-abu serta kaos kaki putih yang kini sudah kotor dan bolong, Zahra pergi ke sekolah. Rambut hitam panjangnya dibiarka terurai. Setiap kali ia berlari, rambutnya akan bergoyang ke kanan dan kiri layaknya model iklan shampo. Minggu ini memang minggu ujian, tapi Zahra yang cerdas selalu bisa melaluinya dengan baik. Hanya besok yang ia khawatirkan, bukan karena tak bisa, hanya saja ujian praktek sholat mengharuskannya melepas sepatu di mushola. Ia malu dengan kaos kaki bolong dan kotor miliknya, sementara hanya itu satu-satunya kaos kaki yang ia punya.

***

Sepulang sekolah ia berlari semangat, sebentar lagi ibu akan memberinya uang untuk membeli kaos kaki baru. Pikirnya. Tapi ketika sampai di rumah, ia mendapati kekecewaan karena ternyata hari itu tak ada juga uang untuk membeli kaos kaki.

“Zahra, tadi ade demam, Nak. Ibu khawatir jadi nggak sempet jualan. Sekarang ibu udah nggak punya uang, tadi saja pinjam sama Mbak Nur buat bawa ade ke puskesmas.”

“Iya , Bu. Nggak apa-apa.”


Sesungguhnya Zahra sangat sedih, tapi di usianya yang baru 11 tahun, keadaan selalu memaksanya menjadi dewasa dan bijak. Ia harus menemukan cara lain untuk mendapatkan kaos kaki untuk ia pakai besok. Aha.

“Bu, Zahra pergi dulu ya.” Ia pergi menyelonong meninggalkan rumah. Ia bahkan hanya sempat mencopot seragam putihnya. Sementara itu, sepatu dan rok merahnya tak sempat ia lepas.

“Mau ke mana, Nak? Nggak makan dulu?”

“Nggak, Bu. Assalamu’alaikum.”

***

Zahra pergi ke sebuah pasar yang jaraknya hanya 1 kilometer dari rumahnya. Ia memohon-mohon pada pedagang plastik agar mau memberinya sebungkus plastik untuk ia jual. Keuntungannya, tentu akan ia belikan sepasang kaos kaki baru. Dengan sedikit melobi, akhirnya sang pedangan plastik itu memberikan sebungkus plastik untuk ia jual.


“Plastik, plastik.” Ia menawarkan plastik itu kepada para pembeli yang lewat dan terlihat kerepotan dengan barang belanjaannya. Satunya ia jual seratus rupiah. Seratus. Dua ratus. Tiga ratus. Hingga akhirnya dia berhasil menjual 50 kantong plastik hitam.

“Alhamdulillah. Laku semua.”


Ia lalu kembali ke pedaganga plastik untuk membayar plastik yang ia jual tadi. Dua ribu rupiah harganya, sisanya, tiga ribu rupiah akan ia belikan kaos kaki baru. Waktu menunjukkan pukul 2 siang. Ia ingat belum sempat sholat dzuhur. Akhirnya ia mampir di mushola pasar untuk sholat dzuhur. Ia baru sadar, ia masih memakai sepatu dan kaos kaki bolongnya. Sambil tengok kanan dan kiri, ia melepas kaos kakinya perlahan dan membuangnya ke tempat sampah.


“Aku kan akan punya kaos kaki baru. Jadi aku tidak akan memerlukan kamu lagi.”gumamnya sambil tersenyum.

Setelah selesai sholat, ia lalu bersiap meninggalkan mushola. Ia merogoh kantong roknya untuk memastikan uang itu masih ada. Akan tetapi, betapa kagetnya ia saat mendapati kantongnya kosong. Ada sebuah lubang di sana. Dan uang yang susah payah ia peroleh pun jatuh entah di mana. Zahra mulai panik. Bahkan tadi ia sudah membuang kaos kaki bolongnya ke tempat sampah. Ia lebih panik lagi ketika mendapati tempat sampah di mana ia membuang kaos kakinya telah kosong. Mungkin sudah ada yang mengangkut. Sekarang ia bahkan tak punya kaos kaki sama sekali untuk pergi ke sekolah.


Zahra sungguh sediih. Ia duduk di pojok mushola. Tangannya memeluk kedua kakinya. Kepalanya menunduk, menelungkup. Air mata tak kuasa menetes dari bola mata bulat miliknya. Tangisannya terdengar tertahan. Ia sungguh tak suka menangis. Ia ingat, terakhir kali ia menangis adalah saat ia kehilangan ayahnya setahun silam.

“Aku cuma mau kaos kaki seharga 2500 rupiah, ya Allah. Bisakah sedikit saja dunia ini adil untuk Zahra?” Zahra menggerutu dalam tangisnya.


Ia tak sadar, sepasang mata sedang menatap padanya. Memperhatikan ia yang sejak tadi menangis dan menggerutu pada Tuhan. Lelaki tua berjenggot putih itu mendekati Zahra.

“Kamu kenapa, Nak?”

Zahra kaget, tapi ia bisa melihat ketulusan sang kakek berjenggot putih itu. Mata dan suaranya meneduhkan. Hingga Zahra tak sungkan menceritakan hal yang baru saja ia alami.

“Zahra butuh kaos kaki baru, Kek.”

“Sudah, kamu jangan nangis ya. Sekarang cuci muka dan hapus air matanya. Kita beli kaos kaki baru untuk Zahra supaya besok bisa pergi ke sekolah. Ayo…”


Setiap kehilangan berarti awal dari kepemilikan. Dan di setiap kehilangan, percaya lah bahwa Allah akan selalu menggantinya dengan hal lain yang lebih baik…


*Terinspirasi dari kaos kaki coklat yang selalu membuat Citra di hukum lari saat apel pagi PPSDMS.

Comments

witha berlian said…
wuaaaaaaa. subhanallah.
aku terharuuuu banget bacanya citra.
kamu pinter banget sih nulis.
Citra Amaliyah said…
hohoho makasih mba witha...
berlebihan sih tapi, biasa aja kok.
Itu justru menerapkan ilmu yg bru d baca dr buku ttg tata cara menulis cerpen :D