Ramadhan di Korea

Ramadhan kali ini harus saya habiskan di Korea. Kalau ditanya apa bedanya? Tentu banyak dan honestly, sangat menyedihkan. Tapi dengan itu saya belajar melihat banyak hal dari sisi lain, kalau dilihat sedihnya aja, sampai kapan pun yang akan terkenang cuma sedihnya. Jadi saya sedang belajar melihatnya dari sudut pandang lain. Mungkin ini yang disebut proses pendewasaan. (haha… sok dewasa)


Malam Ramadhan, saya berada di luar kota, di Yeosu tepatnya. Saya sedang mengikuti International Youth Festival di sana. Jika di Indonesia, malam itu orang-orang tentu sibuk pergi ke masjid untuk tarawih. Sedangkan di sini, orang berbondong-bondong menuju tempat bernama Odong-Do, musik-musik keras diputar dan orang berjingkrak-jingkrak. Hari itu adalah puncak festival sekaligus penutupan acara. Beberapa malah sudah mabuk karena minum alkohol. Saya hanya bertahan di sana sampai jam 8 malam lalu pulang ke hotel. Ini gila. Keluarga dan teman-teman saya mungkin sedang beribadah di Indonesia, dan saya harus berada di tempat seperti itu.


Akhirnya saya kembali ke hotel. Bingung sekali, apa yang bisa saya makan untuk sahur. Tak ada peralatan masak di sana, akhirnya saya pergi ke GS 25 dan beli satu cup mie (yang katanya halal) dan sebutir telur rebus yang dingin (karena diletakkan di kulkas). Sampai di hotel saya masukkan telur itu ke segelas air panas supaya hangat saat dimakan.

Di kamar saya berbagi dengan 3 orang lainnya, satu teman dari Indonesia, satu dari Thailand dan satu dari China. Teman dari China itu berpesan supaya saya tak mengunci pintu kamar, karena dia mau keluar minum bir bersama teman Koreanya. Akhirnya saya biarkan pintu kamar hotel tidak terkunci. Saat yang lain sudah tidur, saya masih tak bisa tidur. Kami selantai dengan orang Meksiko dan beberapa dari Korea. Tampaknya mereka sedang farewell party di luar karena ribut sekali di luar kamar. Akhirnya saya memutuskan sholat tarawih dulu baru tidur setelah itu.


Saat saya sedang berusaha memejamkan mata, saya mendengar pintu kamar terbuka. Saya pikir itu anak China yang baru saja pulang minum. Tapi sungguh kaget yang masuk ternyata 2 orang laki-laki Korea. Saya mengintip dari balik selimut lalu berusaha merapatkannya. Entah mabuk atau sedang mencari sesuatu, dia hanya masuk lalu keluar lagi (Saat itu saya ketakutan setengah mati). Setelah mereka keluar, pintu kamar langsung saya kunci (tak peduli bagaimana nasib anak China itu).


Tepat pukul 3 saya bangun (di sini subuh jam 4) untuk sahur dan saat itu, anak China tadi pun baru pulang minum-minum. Dia pulang dengan sadar (alhamdulillah). Jadilah sahur pertama hanya dengan mie instan dan telur rebus.


Go to Busan

Setelah selesai acara, besoknya saya tidak kembali ke Jeonju, tapi kembali ke Busan. Perjalanan dari Jeonju-Yeosu sekitar 3 jam, dari Yeosu-Busan pun 3 jam. Tentu bisa dibayangkan betapa jauhnya Busan dari Jeonju. Tidak ada yang terlalu sulit menghabiskan Ramadhan di Busan. Ada begitu banyak orang Indonesia di sini bahkan muslimnya. Ada masjid besar yang bahkan ceramahnya menggunakan bahasa Indonesia, dan ada juga toko makanan halal di sana.


Di Busan, saya hanya menghabiskan liburan sampai tanggal 5 Agustus. Numpang tinggal di tempat Mba Ayi. Saat buka puasa biasanya saya ke masjid. Kebetulan menunya masakan Indonesia, ada ayam opor dan ayam bumbu merah. Jarak mesjidnya hanya 2 stasiun jika naik subway dari rumah Mba Ayi, dekat sekali. Sholat tarawih biasanya baru selesai jam 11 malam karena Isya di sini jam 9 malam. Lalu pulang beramai-ramai naik subway.


Saya menyebutnya ini berkah Ramadhan, di Busan saya bertemu orang-orang baru yang selalu bisa menguatkan. Cengeng dan lemah sekali saya, jika tak bisa survive di sini, sementara ada yang sudah bertahun-tahun tinggal di Korea tapi bisa tetap survive. Saya juga bertemu teman baru dari Malaysia dan pergi ke tempat-tempat yang belum pernah saya kunjungi, ke Busan Museum, pakai hanbok wedding dress, ikut kelas tea experience, ke pantai Heundae, ke fortress, ke temple, nonton Harry Potter dan lain-lain. Bahkan orang-orang Indonesia di sini berbaik hati menanyakan makanan Indonesia apa yang ingin saya makan karena di Jeonju saya tak bisa makan makanan Indonesia.


Sayangnya saya hanya bisa ada di sini sampai tanggal 5 Agustus, sisanya saya harus kembali ke hidup normal saya di Jeonju. Kembali bekerja dan kembali mengerjakan amanah lain yang menunggu di sana. Rehatnya sebentar saja, lalu habis itu harus kembali berlari dan berjuang. Semakin sadar, ketika dulu saya sibuk mencari kebahagiaan, padahal kuncinya lagi-lagi hanya bersyukur karena bahagia bukan sesuatu yang dicari tapi memang diciptakan.


Mungkin di Jeonju, saya tak bisa lagi makan sepuas di sini apalagi buat saya yang pencinta daging. Tak ada toko halal di sana atau Asia mart (kalau adapun percuma karena tak ada dapur di asrama). Bahkan setelah 5 bulan di Korea, akhirnya baru di Busan saya makan dengan kecap dan saos ABC (ups.. merk). Bagaimanapun harus disyukuri kan? Dengan begitu, banyak hal-hal yang awalnya biasa saja di Indonesia jadi terasa sangat istimewa di Korea.


Apa yang khas dari Ramadhan di Korea? Tentunya masjid yang tak hanya menyediakan ta'jil tapi sekaligus makanannya. Pengurus masjid dari berbagai negara akan bergantian memasak untuk lauk buka. Lalu, di sini ada banyak muslim dari berbagai negara bahkan Korea lhoo... Di sana serunya ber-Islam di negara lain.


Tapi ada satu yang tetap sama, bagaimanapun puasa bersama keluarga tentunya akan lebih menyenangkan. Sangat kangen Ramadhan di rumah, di kosan dan di asrama.


Oke, cukup rehat sebentar, mengumpulkan energi, setelah itu berjuang lagi, tetap semangat ^^

Innallaha ma’ana....

Comments

witha berlian said…
suka sama tulisan citra.
sama2 berjuang ya ^^
Robby said…
Tanpa sengaja berkunjung untuk sekedar mengambil foto..
Nice blog..