-papua


Belakangan ini saya sibuk dengan proposal kerja praktek yang saya ajukan ke sebuah perusahaan minyak dan gas. Sebelumnya, saya berencana mengajukan kerja praktek Bulan Juli kemarin di Freeport, Papua. Alasan saya sebenarnya cuma satu, saya ingin sekali merasakan hidup di pulau paling timur Indonesia itu.

“Ngapain sih magang jauh-jauh. Yang deket aja sih.” itu reaksi ibu saya ketika saya bilang ingin kerja praktek di sana.

Seorang teman lain ikut melarang, “Ngapain sih lo mau kerja praktek di sana. Jelas-jelas Freeport itu ngerugiin negara tau!”

Pandangan berbeda justru saya dapat dari seorang teman lain, “Yaudah, ke sana aja lo. Kerja di sana, kalo bisa lo masuk ke sana dan perbaiki sistemnya.”

Lalu saya teringat cerita seorang kakak yang sempat kerja praktek di sana.
“Aduh dek, kalo mau belanja harus naik helikopter. Dan beberapa kali aku malah denger suara tembakan di sana.”

Hingga akhirnya, keinginan saya mesti teredam akibat keberangkatan saya untuk mengikuti program pertukaran pelajar di Korea. Lalu, ketika saya akan kembali dan mulai merancang rencana kerja praktek, saya sungguh kecewa melihat berbagai macam pemberitaan soal Papua. Ah ya, saya teringat, saya punya seorang teman di sana. Lalu, saya membaca statusnya via jejaring sosial.

 “Apa ini sebuah takdir…? Saya jadi prihatin bayangkan masa depan orang Papua 20 tahun mendatang.”

Tentu wajar bukan mengkhawatirkan bagaimana nasib tanah air tempat di mana kita dilahirkan dan dididik. Saya bukan orang yang fasih bicara soal hukum dan politik. Bukan seseorang yang bisa terang-terangan seraya berteriak soal bagaimana seharusnya pemerintah berbuat. Yang saya tau, kita sama-sama manusia. Kita harusnya paham bagaimana cara memperlakukan manusia lain secara layak.

Baru saja sekitar satu bulan lalu, saya membantu seorang teman dari Korea yang sedang menyusun thesis untuk melakukan survey tentang Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia. Dia begitu tertarik membahas topik itu, dia selalu bilang sangat unik belajar PKn, bahkan Pancasila yang isinya hanya lima, bisa dikembangkan menjadi mata pelajaran dari SD hingga SMA.

“PKn itu penting karena sebenarnya PKn itu nilai dasar bangsa Indonesia, kami belajar soal toleransi, musyawarah, gotong royong dan sebagainya.”
“Jika di PKn kalian belajar soal toleransi dan sebagainya, lalu kenapa saya dengar, di Indonesia sering terjadi konflik?”

Buat apa waktu yang kita habiskan bertahun-tahun untuk belajar moral justru tak menjadikan kita orang yang bermoral. Hhhmm.. Iya, buat apa belajar kewarganegaraan sejak kelas 1 SD hingga kelas 3 SMA, bahkan sampai universitas? Mari sama-sama kita lihat lagi berapa nilai PKn dalam raport kita? Delapan atau sembilan? Lalu kenapa dalam implementasinya bahkan musyawarah untuk mufakat saja begitu sulit dilakukan.

Bagi muslim tentunya kita belajar soal ukhuwah Islamiyah, soal bagaimana seluruh muslim bersaudara. Kita tentu ikut merasakan sakit ketika saudara kita di Palestina menjadi korban konflik yang terjadi di sana. Tapi bukankah kita juga mengenal ukhuwah insaniyah? Di mana semua orang adalah saudara karena kita berasal dari satu keturunan yang sama. Kita juga mengenal ukhuwah wathaniyah, rasa persaudaraan karena kita sebangsa dan setanah air. Maka jika kita merasa sakit melihat saudara seiman kita sakit, maka harusnya kita pun sakit saat melihat saudara setanah air kita sakit.

Segala doa terbaik buat kawan-kawan di sana. Semoga suatu hari bisa menginjak tanah Papua dengan segala kedamaiannya di sana.

Comments