Mandiri atau Durhaka

Saya anak terakhir dan perempuan satu-satunya dalam keluarga. Honestly, saya memang manja walaupun saya sendiri tidak suka dibilang manja. Saya lebih suka kemanjaan itu dianggap sewajarnya 'kedekatan' seorang anak dan orang tua.

Sampai saat kuliah tingkat 3, saya punya kebiasaan menelfon ke rumah minimal sehari sekali. Tapi sebenarnya lebih sering 3 kali dalam sehari. Sampai di evaluasi asrama di tengah semester, itu jadi catatan besar buat saya. Saya dinilai sangat tidak mandiri karena ketergantungan saya yang teramat besar pada orang tua.

Hingga akhirnya saya mendapat tawaran beasiswa 2 semester di negara lain. Awal-awal bulan, rasanya berat sekali meninggalkan kebiasaan mendengar suara mama. Sampai akhirnya saya mulai terbiasa berbulan-bulan tidak menelpon ke rumah.

Setelah 2 semester, saya kembali ke Indonesia dan hanya punya waktu 2 hari di Jakarta. Sementara saya harus bolak balik ke kampus bertemu teman-teman dan mengurus dokumen magang. Setelah itu saya mesti terbang lagi menuju balikpapan.

Lalu, suatu hari ayah saya mengirim sebuah pesan, yang isinya curhatan ibu saya. Yap, mama sedih sekali karena saya tidak pernah menghubungi mama selama saya di Indonesia kecuali jika saya dalam keadaan bad mood. Sementara ketika mama ada di dekat saya selama 2 hari di Jakarta. Saya tak pernah ada di rumah karena saya lebih banyak menghabiskan waktu saya diluar.
Tadinya saya bangga dan merasa mandiri ketika bisa lepas dari kebiasaan menelfon ibu saya. Tapi sekarang, saya rasa ini bukan mandiri, saya sudah membuka jalan yang melukai hati orang tua saya.


Ma, maaf, I do miss you

Comments