Kisah Layang-Layang (Part 2)


Lanjutan dari Kisah Layang-Layang (Part 1)


Lalu angin mengajaknya terbang merendah di dekat stasiun kereta. Tertambat pada sebuah tiang listrik yang menjulang tinggi. Bahkan dari jarak setinggi itu, ia masih mampu mencium bau besi tua kereta api ekonomi dan mendengar decit suara gerbong. Kereta itu hampir tak terlihat, ratusan orang berjubel di dalam kereta, malah sampai memenuhi atap kereta. Yang aneh lagi, ada seorang laki-laki yang nekat hanya berpegangan pada besi-besi persis di depan lokomotif. Kereta itu di isi wajah-wajah lelah, beberapa orang tertidur dan beberapa terlihat mengipas-ngipaskan topinya. Aroma keringat bercampur parfum murahan tercampur aduk di sana.

“Apa-apaan itu? Apa yang sedang mereka lakukan?” tanya sang layangan.

“Kau lihat, mereka berani menentang bahaya agar cepat sampai di rumah. Mereka melakukannya demi rasa cinta dan tanggung jawab terhadap keluarga. Demi melihat senyum anak istri atau pun keluarga mereka di rumah.”



Hanya sebentar, sekitar sepuluh menit mereka berhenti di stasiun, sudah itu, angin kembali membawanya terbang. Tinggi sekali. Jauh mengalahkan tingginya gedung-gedung ibu kota. Kendaraan di bawah sana terlihat padat, klakson berbunyi di mana-mana. Wajah-wajah penuh peluh memenuhi bis kota. Hari makin pekat. Keadaan kian kunjung sepi hingga menjumpai tengah malam.

“Kali ini, akan kubiarkan kau menikmati hening dan damainya malam. Tapi esok, aku akan kembali mengajakmu melihat realitas hidup di kota kita.”



***

Pagi-pagi sekali angin kembali membangunkannya. Hey, sekarang masih jam setengah enam pagi bukan? Tapi kondisi jalan sudah ramai kembali. Bising. Pengap asap kendaraan. Kalau begini apa gunanya mereka berdandan rapih, toh kemeja mereka akan kusut di tengah jalan. Wewangian mereka akan kalah dengan bau asap kendaraan dan bedak serta lipstik akan di hapus oleh keringat yang bercucuran.

“Kau lihat di bawah sana?” angin bertanya sambil berlalu.



Ada dua orang perempuan di sana. Yang satu masih muda dan cantik, yang satu lagi adalah perempuan paruh baya dengan rambut satu-dua menunjukkan warna putih, masih acak-acakan dan menggunakan daster. Mungkin itu ibunya.

“Kau benar, itu ibunya.” angin seperti bisa membaca pikiran layang-layang. “Dari Senin hingga Jum’at ia setia menemani sang anak. Menunggu sampai ia sendiri melihat sang anak masuk ke dalam bus kota.”



Ia hanya ber-Oh dalam hati sambil berlalu. Angin tak membiarkannya berhenti di sana. Angin terus membawanya terbang tinggi. Kian jauh. Sangat jauh. Hari semakin siang, lalu lintas mulai melengang tetapi panas matahari kian menyengat. Ia dibawa ke atas sebuah gedung nan besar dan tinggi.



Gedung itu tidak aneh memang. Layaknya gedung-gedung besar di ibukota lainnya. Yang aneh di sana adalah puluhan anak muda, laki-laki dan perempuan, dengan jaket kuningnya berkumpul di depan sana. Ada yang tegak berdiri sambil berorasi di atas mobil sound. Ada pula yang sibuk meladeni pertanyaan wartawan. Mereka lantang meneriakkan Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia! Sambil diselingi nyanyian Totalitas Perjuangan. Penuh semangat mereka berloncat-loncatan sambil bergandengan tangan. Masing-masing mengalungi sebuah tulisan, menuntut keadilan. Ah ya, gedung itu tempat wakil rakyat negara ini. Katanya sedang diadakan proyek pembangunan gedung baru. Padahal tak terlihat ada yang salah dengan gedung itu. Masih tampak berdiri kokoh dan baik-baik saja.

“Tuntutan itu lah yang membuat puluhan anak-anak itu rela berpanas-panasan. Keterusikan atas penderitaan rakyat membuat mereka mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran mereka.” kata angin. “Kau tau, meski banyak yang mencemooh mereka dan sering kali mempertanyakan apa gunanya mereka melakukan hal tersebut, setidaknya mereka menunjukkan sikap dan kepedulian terhadap nasib bangsa ini.”

“Aku mengerti maksud mereka. Tapi aksi tersebut tak akan berguna!” tukas layang-layang.

“Ah, kau tau kisah burung kecil yang berusaha memadamkan api ketika Nabi Ibrahim terbakar. Ia sedikit demi sedikit membawa setetes air dalam paruhnya untuk memadamkan api tersebut. Meski mustahil, ia tetap berusaha. Dan ketika ditanyakan mengapa dia masih bersikukuh melakukannya ia menjawab ‘biar pun kecil namun inilah sumbangan aku untuk membantu seorang pesuruh Allah’. Setidaknya, itu lah yang anak-anak itu lakukan, meskipun sedikit dan mungkin tak berpengaruh apa-apa, tapi setidaknya ia berusaha menuntut keadilan atas nama bangsa ini.”



Layang-layang tertegun, “Angin, kau sungguh bijaksana.”

“Aku hanya belajar dari ribuan kisah yang kusaksikan setiap hari. Oleh karena itu, aku ajak kau berkeliling sebentar. Kau tau apa yang sama dari semua kisah yang kutunjukkan kepadamu?”

“Apa itu?” layang-layang masih bingung.

“Dunia ini sungguh keras dan kontras. Tapi di tengah keras dan kontrasnya dunia ini masih ada orang-orang yang memiliki kelembutan dan kepekaan. Dengan segala daya dan upaya rela melakukan apapun demi orang yang mereka cintai. Bahkan sampai rela mengorbankan nyawa mereka sendiri. Jika saja semua dilakukan dengan cara yang baik, tentu Tuhan pun akan menghargai ketulusan mereka.

Layang-layang lalu tersenyum, setuju dengan kata-kata sang angin.

“Sekarang saatnya aku mengembalikanmu kepada anak-anak itu.”

Layang-layang berseru hore dalam hati,”Lalu ke mana kau akan pergi?”

“Aku akan kembali mencari hikmah yang bertebaran di luar sana dan mengajak orang lain yang ingin turut serta dalam petualanganku.”



***

“Andiiiii.” teriak salah seorang anak memanggil temannya. Anak yang bernama Andi pun berlari menghampiri. “Itu bukannya layangan buatanmu kemarin ya?” sambil menunjuk pohon mangga di sebelah rumahnya.

“Ah iya, ayo kita ambil”



Mereka kemudian kembali berlari menuju lapangan luas. Layang-layang tersebut teringat akan kisah yang baru saja ia alami. Setidaknya di tengah-tengah kerasnya dunia ini, harusnya kau terus berbagi kebahagiaan, kepedulian dan cinta kasih bagi sesamamu. Ia sangat bahagia bisa kembali bermain bersama anak-anak kecil itu.



“Tuhan, mimpiku sungguh sederhana. Terikat bersama tali, kemudian terbang tinggi. Bermain bersama tawa ringan anak-anak. Aku senang melihat mereka bahagia”

Comments